Warung Online expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 12 November 2009

DAMAI ITU INDAH

Masyarakat pengguna kendaraan baik mobil maupun motor memprotes perilaku buruk aparat polisi lalu lintas. Mereka mengeluhkan tidak jelasnya rambu dan marka jalan, merasa dijebak, hingga lumrahnya istilah 'sidang ditempat'.



"Di depan ada polisi dan truk polisi. Polisi tidak mengarahkan saya sama sekali untuk jalan lurus dan tidak boleh masuk ke putaran Semanggi, jadi saya agak ragu membelokkan motor ke kiri pelan-pelan. Tapi baru beberapa meter, polisi dengan sigap memberhentikan motor saya," papar Dodi, lewat surat elektronik kepada detikcom, Kamis (23/12/2010).

Setelah diberhentikan oleh polisi, Doddy diajak ke belakang truk yang ternyata banyak pemotor lain yang juga bernasib sama. Alhasil setelah basa-basi menanyakan SIM dan STNK, oknum polisi tersebut akhirnya menawarkan jalan'damai'.

"Lucunya dia tidak mau menerima saat saya beri Rp 30 ribu, dia malah minta Rp 50 ribu. Jelas-jelas nyari uang namanya," kata dia.

Pengalaman lain diceritakan oleh Satria Pratama. Saat dia melintasi di Jalan Asia Afrika menuju Hotel Mulia, kemudian tepat di pertigaan lampu merah Jalan Asia Afrika dan Jalan Pemuda ada sebuah mobil yang posisinya berada di jalur kanan, tetapi dia justru berjalan lurus. Padahal, banyak mobil yang hendak belok ke kanan.

"Kontan saja langsung ditilang oleh polisi. Ada garis lurus (tanpa putus) yang memisahkan dua jalur tersebut, namun garis lurus itu pun sudah tidak jelas terlihat sebagian terhapus dan sebagian sudah kotor. Kejadian ini sering kali terjadi dan menjadi makanan empuk polisi disana," paparnya.

Sementara itu Gieyatno, punya pengalaman berbeda. Saat dirinya sedang melintas di bawah jembatan layang Cawang, dari arah Pancoran menuju pintu Tol Bogor, di lampu merah dia langsung belok kanan yang ternyata itu jalur TransJakarta.

"Dan di depan sudah siap polisi, saya mau ditilang tapi saya tidak mau akhirnya damai dengan uang," kata dia.

Pilihan Gieyatno untuk menempuh jalan damai atau sidang ditempat bukan tanpa alasan. Selama beberapa kali dirinya ditilang, dia selalu direpotkan dengan urusan administrasi yang menurutnya sepele.

"Pas harinya sidang di pengadilan ternyata berkas belum sampai di pengadilan. Benar-benar capek dan kesal, mudah mudahan itu cerita lalu, kedepan semoga pak polisi benar-benar punya niat untuk mengatur lalu lintas dan mengurai kemacetan," harapnya.

Sebenarnya, beberapa waktu lalu Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Royke Lumowa sudah meminta anak buahnya tidak mencari-cari kesalahan pengendara untuk melakukan penilangan. Apalagi sampai melakukan penjebakan.

"Yang namanya jebakan tidak boleh," kata Royke saat ditemui wartawan di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Rabu (22/12).

Royke menjelaskan, sebenarnya bukan menjebak, tetapi mencari-cari kesalahan. Royke memastikan kini praktek tersebut terus dihilangkan, pelakunya pun yang ketahuan akan dihukum.

"Bukan menjebak tapi mencari-cari kesalahan. Sebenarnya itu ke diri kita sendiri, kalau masyarakat merasa tidak salah, mau dijebak atau apapun kenapa harus takut? Kita tidak pernah mencari-cari pelaku pelanggaran," jelasnya.

JANGAN JADI GELAS

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.
“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? ” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, ” jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam.

Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”

Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”

Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.

“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.

“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.

“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.”

Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”

“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana . Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.

Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.

“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”

“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih.

Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan.
“Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya ‘qalbu’(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”